Sebuah sangkar besi
tidak bisa mengubah rajawali
menjadi seekor burung nuri
Rajawali adalah pacar langit
dan di dalam sangkar besi
rajawali merasa pasti
bahwa langit akan selalu menanti
Langit tanpa rajawali
adalah keluasan dan kebebasan tanpa sukma
tujuh langit, tujuh rajawali
tujuh cakrawala, tujuh pengembara
Rajawali terbang tinggi memasuki sepi
memandang dunia
rajawali di sangkar besi
duduk bertapa
mengolah hidupnya
Hidup adalah merjan-merjan kemungkinan
yang terjadi dari keringat matahari
tanpa kemantapan hati rajawali
mata kita hanya melihat matamorgana
Rajawali terbang tinggi
membela langit dengan setia
dan ia akan mematuk kedua matamu
wahai, kamu, pencemar langit yang durhaka.
-- W.S Rendra, Kumpulan Puisi “Perjalanan Bu Aminah”, Yayasan Obor Indonesia (1997).
**********
Biodata
Ringkas, Allahyarham Pak Rendra
Allahyarham
Willibrordus Surendra Broto Rendra atau Wahyu Sulaiman Rendra -- yang lebih
dikenali sebagai WS Rendra adalah penyair ternama yang kerap dijuluki sebagai
“Si Burung Merak”. Beliaulahir di Solo, Jawa Tengah tanggal 7
November 1935 dan meninggal dunia di Jakarta, 6 Ogos 2009 pada umur 74 tahun. Berkenaan
tokoh besar ini, Sasterawan Negara Almarhum Usman Awang pernah mengungkapkan:
“Rendra, penyair terkemuka Indonesia, menuangkan sejarah masa lalu ke dalam
acuan masa kini dalam satu bentuk ekspresi yang sungguh mengesankan. Sejarah
memang selalu berulang. Dan sasterawan/penyair yang tajam inderanya sering
dapat menangkap perjuangan tersebut yang dimanfaatkannya melalui pengucapan
artistik.”
Profesor
Harry Aveling, seorang pakar sastera dari Australia yang besar perhatiannya
terhadap kesusasteraan Indonesia, telah membicarakan dan menerjemahkan beberapa
bahagian puisi Rendra dalam tulisannya yang berjudul “A Thematic History of
Indonesian Poetry: 1920 to 1974”. Karya
Rendra juga dibicarakan oleh seorang pakar sastera dari Jerman bernama Profesor
Rainer Carle dalam bentuk disertasi yang berjudul “Rendras Gedichtsammlungen
(1957—1972): Ein Beitrag Zur Kenntnis der Zeitgenossichen Indonesischen
Literatur. Verlag von Dietrich Reimer in Berlin: Hamburg 1977”.
Sesungguhnya,
WS Rendra adalah seorang pejuang kemanusiaan yang tulen melalui karya seninya.
Dunia Nusantara kehilangan seorang lagi tokoh yang sukar dicari ganti, yang telah
menyumbang banyak kesedaran kepada kita semua menerusi puisi-puisinya. Hal
ini bersesuaian dengan kata-kata Syed Qutb, seorang intelektual dari Mesir yang
hidup di awal abad 20, “orang yang hidup bagi dirinya sendiri akan hidup dan
mati sebagai orang kerdil. Dan, orang yang hidup bagi orang lain akan hidup dan
mati sebagai orang besar.”
Rendra
sering dilambangkan dengan gelaran “Si Burung Merak” (kerana tampak
anggun dan gemerlapan). Meskipun beliau telah tiada, Rendra terus mengigal di
tengah-tengah belantara kehidupan yang tidka begitu ramah. Suaranya terus
lantang kedengaran, menyanyikan lagu-lagu kemanusiaan.
Antara anugerah yang pernah diterima oleh Pak Rendra :-
•
Hadiah Pertama Sayembara Penulisan Drama dari Bahagian Kesenian
Departmen Pendidikan dan Kebudayaan , Yogyakarta (1954);
•
Hadiah Sastra Nasional BMKN (1956);
•
Anugerah Seni dari Pemerintah Republik Indonesia (1970);
•
Hadiah Akademi Jakarta (1975);
•
Hadiah Yayasan Buku Utama, Departmen Pendidikan dan Kebudayaan
(1976);
•
Penghargaan Adam Malik (1989);
•
The S.E.A. Write Award (1996);
•
Penghargaan Achmad Bakri (2006);
•
dan banyak lagi.
*****
“Puisi
Pertemuan Mahasiswa”
Antara puisi
beliau yang paling diingati ialah “Puisi Pertemuan Mahasiswa”. Berikut saya
kongsikan bait-bait indah penuh idealisme sebugar semangat perjuangan kental
Pak Rendra :-
Puisi
Pertemuan Mahasiswa
Matahari terbit pagi ini
mencium bau kencing orok di kaki langit,
melihat kali coklat menjalar ke lautan,
dan mendengar dengung lebah di dalam hutan
Lalu kini ia dua penggalah tingginya
Dan ia menjadi saksi kita berkumpul di sini memeriksa keadaan
Kita bertanya:
“Kenapa maksud baik tidak selalu berguna?”
“Kenapa maksud baik dan maksud baik bisa berlaga?”
Orang berkata:
“Kami ada maksud baik”
Dan kita bertanya:
“Maksud baik untuk siapa?”
Ya ! Ada yang jaya, ada yang terhina
Ada yang bersenjata, ada yang terluka
Ada yang duduk, ada yang diduduki
Ada yang berlimpah, ada yang terkuras
Dan kita di sini bertanya:
“Maksud baik saudara untuk siapa?
Saudara berdiri di pihak yang mana?”
Kenapa maksud baik dilakukan
tetapi makin banyak petani yang kehilangan tanahnya
Tanah-tanah di gunung telah dimiliki orang-orang kota
Perkebunan yang luas
hanya menguntungkan segolongan kecil saja
Alat-alat kemajuan yang diimpor
tidak cocok untuk petani yang sempit tanahnya
Tentu kita bertanya:
“Lantas maksud baik saudara untuk siapa?”
Sekarang matahari, semakin tinggi
Lalu akan bertahta juga di atas puncak kepala
Dan di dalam udara yang panas kita juga bertanya:
Kita ini dididik untuk memihak yang mana ?
Ilmu-ilmu yang diajarkan di sini
akan menjadi alat pembebasan,
ataukah alat penindasan?
Sebentar lagi matahari akan tenggelam
Malam akan tiba
Cicak-cicak berbunyi di tembok
Dan rembulan akan berlayar
Tetapi pertanyaan kita tidak akan mereda
Akan hidup di dalam bermimpi
Akan tumbuh di kebon belakang
Dan esok hari matahari akan terbit kembali
Sementara hari baru menjelma
Pertanyaan-pertanyaan kita menjadi hutan
Atau masuk ke sungai menjadi ombak di samodra
Di bawah matahari ini kita bertanya:
Ada yang menangis, ada yang mendera
Ada yang habis, ada yang mengikis
Dan maksud baik kita berdiri di pihak yang mana!
Jakarta, 1 Disember 1977.
Lalu kini ia dua penggalah tingginya
Dan ia menjadi saksi kita berkumpul di sini memeriksa keadaan
Kita bertanya:
“Kenapa maksud baik tidak selalu berguna?”
“Kenapa maksud baik dan maksud baik bisa berlaga?”
Orang berkata:
“Kami ada maksud baik”
Dan kita bertanya:
“Maksud baik untuk siapa?”
Ya ! Ada yang jaya, ada yang terhina
Ada yang bersenjata, ada yang terluka
Ada yang duduk, ada yang diduduki
Ada yang berlimpah, ada yang terkuras
Dan kita di sini bertanya:
“Maksud baik saudara untuk siapa?
Saudara berdiri di pihak yang mana?”
Kenapa maksud baik dilakukan
tetapi makin banyak petani yang kehilangan tanahnya
Tanah-tanah di gunung telah dimiliki orang-orang kota
Perkebunan yang luas
hanya menguntungkan segolongan kecil saja
Alat-alat kemajuan yang diimpor
tidak cocok untuk petani yang sempit tanahnya
Tentu kita bertanya:
“Lantas maksud baik saudara untuk siapa?”
Sekarang matahari, semakin tinggi
Lalu akan bertahta juga di atas puncak kepala
Dan di dalam udara yang panas kita juga bertanya:
Kita ini dididik untuk memihak yang mana ?
Ilmu-ilmu yang diajarkan di sini
akan menjadi alat pembebasan,
ataukah alat penindasan?
Sebentar lagi matahari akan tenggelam
Malam akan tiba
Cicak-cicak berbunyi di tembok
Dan rembulan akan berlayar
Tetapi pertanyaan kita tidak akan mereda
Akan hidup di dalam bermimpi
Akan tumbuh di kebon belakang
Dan esok hari matahari akan terbit kembali
Sementara hari baru menjelma
Pertanyaan-pertanyaan kita menjadi hutan
Atau masuk ke sungai menjadi ombak di samodra
Di bawah matahari ini kita bertanya:
Ada yang menangis, ada yang mendera
Ada yang habis, ada yang mengikis
Dan maksud baik kita berdiri di pihak yang mana!
Jakarta, 1 Disember 1977.
* Al-Fatihah yang sekudusnya, buat Pak Rendra.
----------------------------------------------------------------------------
Sumber:
- http://www.facebook.com/hasmi.hashim; dan
- Rendra, W.S. Puisi-Puisi Rendra, 1996. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan